Cahaya iman pun menyala dalam hatinya. Seketika itu pula, pria kelahiran Yokohama, Jepang itu memutuskan memeluk Islam.
''Langsung saya bilang mau masuk Islam. Alhamdulillah, di malam takbiran itu saya memeluk Islam,'' ujar ayah dua anak itu kepada Republika di sela-sela acara pengajian yang digelar Mushala Al-Muhajirin, Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
Tak hanya gema takbir yang membuatnya memeluk Islam. Suara azan yang berkumandang lima kali sehari juga menjadi pembuka pintu hidayah. Pengusaha catering terkemuka di Pulau Dewata itu mengaku selalu merinding setiap kali mendengar takbir di malam hari raya.
''Makanya, malam takbiran saya nggak di Bali. Biasanya ke Jakarta. Metua saya di Ciputat,''papar suami dari Indriani Kuntowati itu menjelaskan.
David hijrah ke Indonesia bersama orang tuanya pada 1980-an. Kedua orang tuanya mencoba berbagai usaha hingga akhirnya menetap di kawasan Menteng Dalam.
Seperti halnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama, David pun mulai mengenal puasa, shalat, serta takbir dari lingkungan masyarakat Menteng Dalam.
Ia amat bersyukur menjadi seorang Muslim. Menurut David, umumnya orang Indonesia terlahir sebagai seorang Muslim. Namun, kata dia, mualaf umumnya lebih cepat memahami, menjiwai serta mengamalkan ajaran Islam.
''Itu, karena para mualaf menyadari Islam agama terbaik,'' ungkap aktivis tadabbur Alquran bersama Ar-Rahman Quranic Learning Center Bali. Ia mengatakan untuk dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, para orang tua harus menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya.
Seringkali, kata dia, orang tua menyuruh anak-anaknya mengaji, sementara mereka tidak melakukannya. Padahal, contoh terbaik dimulai dari orang tua di rumah.
Kebaikan apa saja, kata David, bila dicontohkan orang tua dengan baik, akan diikuti anak. Kalau cuma perintah dan orang tua tidak melakukannya, sulit dilaksanakan dengan baik.
Sebagai seorang Muslim, David berupaya menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya. David tak pernah henti bersyukur. Semangat menjalankan ajaran Islam yang dilakukannya diikuti kedua anaknya.
Bersama putranya waktu itu, ia berhasil mewujudkan mushala di sekolah anaknya waktu itu. ''Alhamdulillah, ini semua berkat rahmat Allah SWT, sehingga memudahkan siapa pun melaksanapakan ibadah,'' ungkap David penuh syukur.
Apa kesan David
tentang umat Islam Indonesia? Secara jujur ia mengungkapkan, sebagian
besar umat Islam Indonesia masih memandang seseorang dari materi dan
penampilan.
''Contohnya, saya pakai gamis, orang pikir saya ustaz. Besoknya, saya pakai celana jeans bolong-bolong, saya ucapkan Assalamu’alaikum, mereka nggak mau menjawab.”
David juga menyayangkan masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum memahami dan mengamalkan tuntunan Alquran. ''Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan uang nggak bersih, nggak malu,” ujarnya.
Ia merasa optimistis, Bali bisa menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat Subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumat.
''Bisa jadi, karena Muslim di Bali masih minoritas,'' ujar David yang aktif mengikuti pengajian di berbagai masjid dan majelis taklim.
Menurut dia, bukanlah suatu yang mustahil, kelak Bali menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.
Lantas, apa pendapatnya terhadap peristiwa Bom Bali beberapa waktu lalu yang menewaskan banyak orang? David mengaku merasakan sedih yang luar biasa.
''Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai mobil pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang waktu itu bilang, ‘Wah Pak, nanti mobilnya bawa sial!’ Wallahu a’lam. Saya bilang, yang penting saya ingin menolong.”
Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi, berkat gotong royong masyarakat di Bali, Alhamdulillah lancar.
''Contohnya, saya pakai gamis, orang pikir saya ustaz. Besoknya, saya pakai celana jeans bolong-bolong, saya ucapkan Assalamu’alaikum, mereka nggak mau menjawab.”
David juga menyayangkan masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum memahami dan mengamalkan tuntunan Alquran. ''Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan uang nggak bersih, nggak malu,” ujarnya.
Ia merasa optimistis, Bali bisa menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat Subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumat.
''Bisa jadi, karena Muslim di Bali masih minoritas,'' ujar David yang aktif mengikuti pengajian di berbagai masjid dan majelis taklim.
Menurut dia, bukanlah suatu yang mustahil, kelak Bali menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.
Lantas, apa pendapatnya terhadap peristiwa Bom Bali beberapa waktu lalu yang menewaskan banyak orang? David mengaku merasakan sedih yang luar biasa.
''Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai mobil pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang waktu itu bilang, ‘Wah Pak, nanti mobilnya bawa sial!’ Wallahu a’lam. Saya bilang, yang penting saya ingin menolong.”
Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi, berkat gotong royong masyarakat di Bali, Alhamdulillah lancar.
Ada kebiasaan menarik yang dilakukan David Scherer dan teman-temannya di Bali. David yang
sejak 20 tahun lalu memeluk Islam itu saban Jumat mengunjungi sejumlah
masjid yang ada di Denpasar secara bergantian. Tak hanya bersilaturahim
dan melaksanakan shalat Jumat, bersama rekan-rekannya yang aktif di
pengajian Ar-Rahman Quranic Learning (AQL) Center Bali, pria kelahiran 9 Februari 1972 ini membagikan nasi bungkus.
''Alhamdulillah, secara rutin saya dan kawan-kawan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumat,” papar David penuh syukur.
Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar penuh semangat berbagi usai shalat Jumat? Berdasarkan pengalamannya, kata dia, usai Jumatan banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.
Alasannya, jam istirahat baik dari kantor swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, banyak jamaah salat Jumat terburu-buru keluar masjid untuk makan siang dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.
Dengan kegiatan itu, ia dan kawan-kawannya berusaha mengajak jamaah shalat Jumat untuk tetap di masjid usai shalat, bersilaturahim sekaligus makan siang.
Caranya? ''Nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka nggak usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita bisa silaturahim sambil menikmati makan siang,” ungkap ayah dari Adam Arthur Scherer dan Andrea Kirana Scherer bahagia.
Untuk bisa bersilaturahim ke 200 masjid yang ada di Denpasar, David membutuhkan waktu selama empat tahun. ''Itu pun dengan syarat setiap Jumat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk bisa berkeliling ke seluruh masjid di Bali, saya membutuhkan waktu selama delapan tahun.”
David merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa bisa bersilaturahim sekaligus makan siang bersama jamaah shalat Jumat di berbagai masjid yang dikunjunginya.
''Alhamdulillah, secara rutin saya dan kawan-kawan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumat,” papar David penuh syukur.
Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar penuh semangat berbagi usai shalat Jumat? Berdasarkan pengalamannya, kata dia, usai Jumatan banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.
Alasannya, jam istirahat baik dari kantor swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, banyak jamaah salat Jumat terburu-buru keluar masjid untuk makan siang dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.
Dengan kegiatan itu, ia dan kawan-kawannya berusaha mengajak jamaah shalat Jumat untuk tetap di masjid usai shalat, bersilaturahim sekaligus makan siang.
Caranya? ''Nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka nggak usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita bisa silaturahim sambil menikmati makan siang,” ungkap ayah dari Adam Arthur Scherer dan Andrea Kirana Scherer bahagia.
Untuk bisa bersilaturahim ke 200 masjid yang ada di Denpasar, David membutuhkan waktu selama empat tahun. ''Itu pun dengan syarat setiap Jumat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk bisa berkeliling ke seluruh masjid di Bali, saya membutuhkan waktu selama delapan tahun.”
David merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa bisa bersilaturahim sekaligus makan siang bersama jamaah shalat Jumat di berbagai masjid yang dikunjunginya.
Sumber : ROL
Redaktur : Damanhuri Zuhri
0 comments :
Jika anda menyertakan link dalam komentar,baik itu link hidup maupun link biasa,maka admin akan menghapus komentar anda..
Terima Kasih.