1. NIKAH YANG BOLEH POLIGAMOUS.
BAHKAN ADA YANG BOLEH KAWIN KONTRAK (MUT’AH) YANG MEMBERI RUANG UNTUK PROSTITUSI TERSELUBUNG.
Jawab:
HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM
Menurut Mahmud Syaltut --mantan Syekh Al-Azhar--, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan
(5) yaitu penganiayaan terhadap para isteri.
Zyamahsyari dalam kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari'at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah seandainya syari'at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam Islam.
(6)
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 3 yang artinya:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya."
(7) Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa' tersebut yaitu:
"Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya."
(8) Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.
(9) Jadi maksud ayat 3 Surat An-nisa' itu adalah bahwa kamu boleh mengawini yatim dalam asuhanmu dengan syarat ail. Bila tidak dapat berlaku demikian, hendaklah kamu memilih wanita yang lain saja. Sebab perempuan selain yatim yang dalam asuhanmu masih banyak jumlahnya. Namun jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang wanita saja.
Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
"Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya:
"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: "Pilihlah empat orang dari mereka."
(HR. Abu Daud)
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: "Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1.Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa' ayat 129 yang
artinya:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa' itu adalah adil dalam cinta dan jima'. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat, Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1.Isteri mandul
2.Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
3.Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
4.Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.
(10) Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19 yang artinya:
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik)."
(11) Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu', bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela (lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.
*Penulis Pakar Perbandingan Madzhab Hukum Islam dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Referensi :
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka, Cet I, 1988, hlm. 693
- Drs. Sidi Ghazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan,Jakarta , Pustaka Antara, 1975, hlm. 25
- Ahmad Muhammad Jamal, Muftarayah 'Ala al-Islam,Beirut, dar al-Fikr, hlm 107-108
- Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah,Mesir, Dar al-Qalam, Cet III, 1966, hlm. 269
- Muhammad al-Bahy, al-Islam wa Tijah al-Mar'ah al-Mu'ashirah,Mesir, Maktabah wahbah, 1978, hlm. 42
- Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,Saudi Arabia, Khadim al-Haramain al-Syarifain, tt, hlm. 115
- Masyfuk Zuhdi, Masa'il Fiqhiyah,Jakarta, Haji Mas Agung, 1990, hlm.16
- Muhammad al-Bahy, Op. cit, hlm 45
- Muhammad Abduh, al-Manar, juz IV, hlm. 350
- Departemen Agama RI, Op. cit, hlm. 119
TENTANG NIKAH MUT’AH
Ada beberapa hadits nabawi yang menjelaskan bahwa dahulu memang pernah untuk sementara diberlakukan nikah mut'ah. Namun sifatnya darurat dan sementara yaitu ketika berperang. Kemudian dilarang untuk selama-lamanya. Nikah mut'ah tidak pernah diperbolehkan lagi, meski alasannya sementara dan darurat. Karena wahyu dari langit sudah selesai turun, masa tasyri' sudah selesai. Tidak akan ada lagi perubabahan syariah Islam.
Dalil hadits yang mengaramkan nikah mut'ah antara lain adalah:
Dari Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah. Ketahuilah bahwa Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Saudara-saudara kita dari kalangan syiah yang seringkali mengkultuskan Ali bin Abi Thalib termasuk di antara kalangan yang menjalankan nikah mut'ah. Namun ternyata ada hadits yang diriwayatkan oleh beliau yangesensinya justrumengharamkan nikah mut'ah
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut'ah dengan wanita pada perang Khaibar dan makan himar ahliyah. (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan oleh dua tokoh besar dalam dunia hadits, yaitu Al-Bukhari dan Muslim. Mereka yang mengingkari keshahihahn riwayat dua tokoh ini tentu harus berhadapan dengan seluruh umat Islam.
Bahkan sanad pertamanya langsung dari Ali bin Abi Thalib sendiri. Sehingga kalau ada kelompok yang mengaku menjadi pengikut Ali ra tapi menghalalkan nikah mut'ah, maka dia telah menginjak-injak hadits Ali bin Abi Thalib.
Al-Baihaqi menukil riwayat dari Ja'far bin Muhammad bahwa beliau ditanya tentang nikah mut'ah. Jawabannya adalah bahwa nikah mut'ah itu adalah zina.
Keteranganyang anda dapatkan bahwa siapa yang tidak menikah dengan cara mut'ah maka tidak masuk surga, tentu jauh bertentangan dengan dalil-dalil di atas. Dan bertentangan juga dengan nilai luhur tujuan pernikahan. Tujuan nikah mut'ahbukan membangun rumah tangga sakinah, melainkan semata-mata mengumbar hawa nafsu dengan imbalan uang.
Apalagi bila dikaitkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang shalih dan shalihat. Semua itu jelas tidak akan tercapai lantararan nikah mut'ah memang tidak pernah bertujuan untuk mendapatkan keturunan. Tetapi untuk sekedar kenikmatan seksual sesaat.
Tidak pernah terbersit dalam benak pelaku nikah mut'ah untuk nantinya punya keturunan daripernikahan seperti itu. Bahkan ketika dahulu sempat dihalalkan di masa Nabi yang kemudian segera diharamkan, para shahabat pun tidak pernah berniat membentuk rumah tangga dari nikah mut'ah itu.
Nikah Mut'ah = Zina
Ungkapan bahwa nikah mut'ah itu adalah zina dibenarkan oleh Ibnu Umar. Dan sebagai sebuah kemungkaran, pelaku nikah mut'ah diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.
Ibnu Umar telah berkata bahwa Rasulullah SAW memberi izin untuk nikah mut'ah selama tiga hari lalu beliau mengharamkannya. Lebih lanjut tentang pelaku nikah mut'ah ini, fuqaha dari kalangan shahabat yang agung itu berkata,
"Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah mut? Ah padahal dia muhshan kecuali aku merajamnya."
JADI NIKAH MUT’AH SUDAH TIDAK ADA LAGI DALAM HUKUM ISLAM KARENA SUDAH DIHARAMKAN!!! ===============================================================
2. PERCERAIAN HANYA MENJADI HAK PRIA, DAN TIDAK MEMBUTUHKAN ALASAN. LAKI-LAKI HANYA PERLU MENGUCAPKAN “TALAQ” DAN ITULAH VONISNYA.
Jawab:
Sesungguhnya lelaki adalah sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggungjawab pertama kali dan yang memikul beban di dalam rumah tangganya. Dialah yang harus memberikan mahar dan kewajiban-kewajiban lain setelahnya, sehingga dia dapat membangun rumah tangga di atas tanggung jawabnya. Barangsiapa dapat berbuat demikian maka ia menjadi mulia dan tidak mungkin merusak bangunan rumah tangga itu kecuali karena ada tujuan-tujuan tertentu, atau karena kebutuhan yang memaksa yang menjadikan ia berkorban dengan menanggung seluruh kerugian karenanya.
Kemudian laki-laki itu pada umumnya lebih mengetahui tentang akibatnya dan lebih banyak bertahan, serta lebih sedikit terpengaruh daripada wanita, sehingga lebih baik jika wewenang itu berada di tangannya.
Adapun wanita, ia cepat terpengaruh, mudah emosi dan selalu hangat perasaannya. Kalau seandainya talak itu berada dalam kekuasaannya, pasti akan sering terjadi perceraian dengan alasan-alasan yang ringan dan perselisihan kecil.
APA JADINYA JIKA WANITA PUNYA HAK INISIATIF MENCERAIKAN SUAMI? WANITA PADA UMUMNYA LEBIH BANYAK MENGGUNAKAN PERASAAN DIBANDINGKAN BERPIKIR PANJANG. JIKA SEDANG EMOSI KATA “CERAI” LEBIH MUDAH TERLONTARKAN, MAKA KASUS PERCERAIAN AKAN SEMAKIN BANYAK. JUSTRU HUKUM SEPERTI INI UNTUK MENANGGULANGI AGAR KASUS PERCERAIAN BISA DIMINIMALISIR.
====================================================================
3. KESAKSIAN HUKUM DIMANA SATU PRIA NILAI KESAKSIANNYA SETARA DENGAN DUA WANITA. ARTINYA KESAKSIAN SETIAP PEREMPUAN KURANG BISA DIPERCAYA, SIAPAPUN DIA.
Jawab:
1. Dua saksi perempuan tidak selalu dianggap sama dengan satu saki laki laki
Tak kurang tiga ayat dalam Al Quran yang berbicara tentang saksi tanpa penghususan laki-laki atau perempuan.
- Ketika membuat wasiat waris hanya memerlukan dua orang yang di perlukan sebagai saksi. Dalam Al-quran surat Al-Maidah ayat 106 disebut :
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian…(Al-Maidah 106)
- Dua orang yang adil dalam perkara talak
- Empat orang saksi di perlukan dalam perkara tuduhan terhadap perempuan baik baik
2. Dua saksi perempuan setara dengan satu saksi laki-laki hanya dalam transaksi keuangan
Tidak benar bahwa dua saksi perempuan selalu dianggap setara satu laki laki. Ini hanya terjadi dalam kasus kasus tertentu. Ada sekitar lima ayat dalam Alquran yang menyebutkan soal saksi tanpa menghususkan laki laki atau perempuan. Hanya ada satu ayat dalam Al Quran yang mengatakan bahwa dua saksi perempuan satera dengan satu saksi laki-laki. Ayat ini adalah dalam surat Al-Baqarah ayat 282.
inilah ayat terpanjang dalam Al-Quran yang berbicara tentang transaksi keuangan. Allah berfirman
" Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(Al Baqarah : 282)
Ayat Alquran ini hanya membahas transaksi keuangan. Dalam kasus kasus seperti itu, di anjurkan untuk membuat perjanjian tertulis antara pihak pihak yang bersangkutan dengan menyertakan dua saksi, lebih diutamakan laki laki saja. Sekiranya anda tidak menemukan dua orang laki laki, maka satu orang laki laki dan dua orang perempuan cukup.
Kita misalkan orang yang hendak melakukan seseorang yang melakukan sebuah operasi untuk operasi tetentu. Untuk memastikan keberhasilan operasi, dia lebih suka menunjuk dua orang dokter ahli bedah. Jika dia tidak mendapatkan dua dokter ahli bedah, opsinya yang kedua adalh dokter ahli bdah dan dua dokter umum.
Islam mengharapkan laki laki menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Karena tanggung jawab keuangan di pikul oleh laki-laki, mereka diharapkan lebih cakap dalam bertransaksi keuangan daripada permpuan. Sebagai opsi kedua, bisa seorang laki laki dan dua orang perempuan, sehingga jika jika salah satu perempuan itu membuat kesalahan, perempuan yang satunya bisa mengingatkan. Kata arab yang dipakai adalah tazil yang berarti bingung atau membuat kesalahan. Banyak yang keliru terjemahan ini menjadi lupa. Transaksi keuangan adalah satu satunya kasus yang menyatakan dua saksi perempuan sama dengan satu laki laki.
3. Dua saksi perempuan sama dengan satu saksi laki laki bahkan dalam perkara pembunuhan
Bagaimanapun juga, beberapa ulama’ berpendapat sikap perempuan juga bisa mempengaruhi kesaksian dalam perkara pembunuhan. Dalam keadaan demikian seroang perempuan lebih ketakutan daripada seorang laki laki. Karena kondisi emosiaonalnya, dia bisa bingung. Karena itu menurut beberapa ahli fikih, dalam kasus pembunuhan sekalipun, dua orang saksi perempuan sama dengan satu saksi laki laki. Dalam semua kasus lain saksi satui perempuan sama dengan saksi satu laki laki.
4. Al-Quran jelas menegaskan bahwa saksi satu perempuan sama dengan satu saksi laki laki
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.(An-Nur : 6)
5. Kesaksian tunggal Aisyah sudah mencukupi diterimanya sebuah hadis
Aisyah, istri Rasulullah, meriwayatkan tak kurang dari 2.220 Hadis yang di anggap shahih cukup dengan kesaksisn tunggal beliau. Ini adalah bukti kuat bahwa kesaksian perempuan jua bisa di terima
Banyak ahli fikih yang berpendapat bahwa kesaksian satu perempuan saja sudah cukup melihat terbitnya bulan baru. Bayangkan kesaksian satu perempuan saja sudah cukup bagi salah satu rukun islam, yakni Puasa di bulan Ramadhan, dan seluruh masyarakat muslim baik perempuan maupun laki-laki bersepakat dan menerima kesaksiannya. Beberapa ahlifikih mengatakan diperlukan satu saksi untuk awal ramadhan dan dua saksi untuk akhir ramadhan, tidak ada bedanya apakah saksi itu laki-laki atau perempuan
6. kesaksian perempuan lebih utama dalam beberapa kasus
beberapa kasus hanya menghendaki kesaksian prempuan dan kesaksian laki laki tidak diterima. Misalnya dalam mengatasi persoalan perempuan, ketika memandikan jenazah perempuan, saksinya harus seorang perempuan.
Ketidak setaraan antara laki laki dan perempuan dalam transaksi keuangan bukan diakibatkan oleh ketidak setaraan jenis kelamin dalam islam. Ini hanya disebabkan oleh sifat peran berbeda laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang di cita-citakan islam.
============================================================
4. HAK WARIS WANITA JUGA SEPARUH DARI HAK LAKI-LAKI, SEBAGAI HUKUMAN ATAS KEBODOHAN WANITA DALAM OTAK DAN DALAM AGAMA.
Jawab:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
:لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan,
“Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….”
(An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
==========================================================
5. KETERTUTUPAN DIRI, TIDAK MUNCUL DI PUBLIK, TIDAK BEPERGIAN SENDIRI TANPA MUHRIMNYA.
Jawab:
Tidak boleh seorang wanita bepergian jauh kecuali bersama mahramnya, dan tidak boleh berdua dengan laki-laki asing kecuali disitu ada mahramnya). Berkata seorang laki-laki: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin keluar berjihad bersama pasukan ini dan ini, sedangkan istriku ingin berhaji? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Pergilah bersama istrimu!.”
(HR. Al- Bukhary – Muslim).
Dalam hadist di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita bepergian jauh kecuali dengan mahram, bahkan menyuruh orang yang mau pergi berjihad untuk menemani istrinya yang mau pergi haji. Jadi wanita bepergian harus bersama mahram untuk ibadah atau untuk yang lain. Hal ini tidak lain kecuali demi kebaikan wanita tersebut. Betapa banyak kita dengar kejadian-kejadian yang menyedihkan akibat perginya seorang wanita tanpa mahram. Hadist ini tidak melecehkan perempuan sama sekali jika dipikir menggunakan otak yg waras, justru disinilah letaknya Islam memuliakan dan melindungi perempuan.
0 comments :
Jika anda menyertakan link dalam komentar,baik itu link hidup maupun link biasa,maka admin akan menghapus komentar anda..
Terima Kasih.